Kamis, 22 November 2007

JALINAN EMOSI ANTAR SEPUPU

Sekitar Tahun 1990-an ada sebuah artikel pada majalah Reader’s Digest, di situ tertulis kuatnya hubungan emosional antar saudara sepupu atau saudara misan atau “dulur sabrayna”. Mengapa bisa terjadi? Bagi saudara sepupu terutama bagi yang berusia sebaya dan pernah melewati masa kanak-kanak bersama, hubungan persahabatan akan sangat rapat dibandingkan dengan saudara kandung. Dengan saudara kandung ada istilah “karagok”. “Ngadu kaleci”, “ngadu gambar”, atau “gegelutan” kalau dengan saudara kandung tidak seru. Kalau kita jadi si adik kita akan selalu jadi pecundang. Sebaliknya kalau jadi si kakak kayaknya sebel kalau bermain dengan adik kandung, kalau kalah suka “jebleh” dan ngadu sama orang tua. Sedangkan dengan anak-anak tetangga, pergaulan kita dibatasi waktu, kalau datang waktu maghrib kita harus “ngampih” . Nah, kalau dengan saudara sepupu permainan apapun bisa dilanjutkan sampai malam kalau perlu “ngendong”. Bermain dengan anak tetangga kita tidak bisa bebas keluar masuk rumah mereka dan sebaliknya, sedangkan dengan saudara sepupu rasanya kita bebas “kakalacatan” dirumah mereka dan orang tua kita pun tidak pernah melarang kalau mereka “kakalacatan” di rumah kita .
Seiring dengan bergulirnya waktu dan berubahnya tempat tinggal dan lingkungan pergaulan komunikasi dengan sepupu akan semakin berkurang bahkan terputus kecuali mungkin dengan sepupu yang mempunyai minat yang sama, komunikasi masih berjalan.
Ada hal-hal yang mengagumkan dalam hubungan emosional dan persahabatan dengan sepupu ini. Setelah puluhan tahun tidak ada komunikasi, kemudian muncul suatu keperluan atau muncul kerinduan sekedar untuk berbicara, persahabatan yang sudah lama terputus bisa tersambung lagi dalam suasana sehangat dulu. Bahkan walaupun pada masa kanak sampai setengah baya tidak saling mengenal, ketika suatu saat bertemu dan diperkenalkan sebagai saudara sepupu maka mengalirlah pembicaraan yang hangat sepertinya sudah lama saling mengenal. Ada lagi yang sangat mengagumkan dari hubungan antar sepupu ini, kedekatan-kedekatan emosional yang diawali saling curhat bisa menumbuhkan benih-benih cinta diantara sepasang sepupu. Benih-benih cinta ini ada yang terus dipupuk dan berkembang terus hingga ke pelaminan. Itulah jodoh.
Dan sekarang marilah kita lihat indahnya persahabatan antar sepupu. Keluarga besar ibu saya (Tursilah atau Uwa Iloh) dan keluarga besar Soepiah atau Bi Piah sama-sama mempunyai banyak anak laki-laki dan sama-sama mempunyai kehidupan sederhana. Mungkin keadaan yang sama ini menimbulkan kedekatan untuk saling menghibur. Kedua keluarga ini walaupun tempat tinggalnya cukup berjauhan dari Dunguscariang ke babakan Ciamis kemudian ke Kebon Bibit, sering “silih anjangan”. Sejak Kecil anak laki-laki Uwa Iloh (Mengingat hampir semua putu nini Kancana sudah mulai beranjak tua, kurang enak rasanya kalau menulis nama saudara kandung/sepupu dengan nama langsung. Untuk itu saya akan membubuhi kata “adi” didepan setiap nama adik kandung/adik sepupu dan kata “kang” atau “ceu” untuk setiap nama kakak kandung/kakak sepupu.) terutama kang Gugum, saya, adi Toni, adi Neno bersahabat dengan anak laki-laki Bi Piah: adi Ukun, adi Budi,adi Yodi (saya tidak menyebut anak laki-laki yang lain karena pada waktu itu tidak sebaya). Saya masih ingat ketika kami main rakit-rakitan dari gedebog pisang di sungai Cikapundung, waktu itu airnya masih jernih. Dan sayapun masih ingat ketika diajak “moncor” ke Taman lalu Lintas.
Dengan bertambahnya usia dari masa kanak-kanak, remaja, kemudian dewasa dan sekarang menjadi tua, komunikasi dengan sepupu menjadi semakin berkurang. Bukan saja dikarenakan faktor kesempatan, lingkungan pergaulan, kesamaan minat dan jarak tempat tinggal pun merupakan penyebab komunikasi yang semakin berkurang. Itulah hukum alam. Namun walaupun komunikasi berkurang rasa persahabatan yang tertanam dalam hati tetap terpelihara. Dimanapun dan kapanpun bertemu baik sengaja atau tidak, pembicaraan hangat pun tetap mengalir seperti dulu. Tidak ada istilah “kagok” walaupun sang sepupu telah menjadi “jalmi nyondong”. Yang hampir tidak terputus adalah komunikasi saya dengan adi Budi dan adi Yodi. Sampai sekarang kami masih saling memperhatikan.
Dengan keluarga Bi Tati saya dekat juga dengan si jangkung hitam dan … “goreng patut”, adi Ukas (punten, jang, he..he…).
Dengan keluarga Bi Ati saya dekat dengan adi Ucup, bicaranya cerdas dan ...suka jahil. Dan dengan adi Evi, setelah hampir tiga puluh tahun saya bisa berjumpa lagi dengan dia di Pariaman. Ketika itu saya ada dinas ke situ dan adi Evi serta suaminya sengaja mendatangi saya dari Solok. Kami langsung ngobrol intim “nyacapkeun kasono”. Kalau tidak diingatkan harus segera ke bandara mungkin sampai malam pun pembicaraan tidak akan berhenti.
Dengan keluarga Mang Galam, tentu saja saya dekat dengan adi Bambang. Terakhir ketemu dia adalah ketika saya dinas Palembang, kami sempat jalan-jalan ke supermarketnya Palembang. Saya juga sempat ketemu adi Dadang (pertama kali bertemu). Ketika itu saya dinas ke Lampung, saya sempat menengok Mang Galam yang tengah terbaring di tempat tidur karena sakitnya sudah “repot”. Saya langsung ngobrol akrab dengan adi Dadang. Satu hal lagi yang mengagumkan dari jalinan emosional antar sepupu adalah ketika dinas ke Bengkulu saya ditelepon adi Ukas bahwa di situ ada adiknya adi Bambang namanya Neng Dian. Waktu itu namanya saja baru dengar. Setelah makan malam saya dengan beberapa teman mencari rumah Neng Dian, kami langsung akrab layaknya orang yang sudah lama saling mengenal.
Dengan keluarga Bi Esih pun saya bersahabat dengan adi Dede dan adi Neneng. Terakhir bertemu adi Neneng sekitar tahun 2006. Waktu itu saya sedang diopname di RS santo Yusuf, tidak diduga sama sekali tahu-tahu muncul seorang ibu cantik membawa makanan, ternyata adi Neneng. Saya sangat terkesan akan atensinya karena rasanya sudah bertahun-tahun kami tidak berkomunikasi. Itulah bukti adanya ikatan emosional saudara sepupu. Sampai saat ini saya belum sempat membalas kebaikannya.
Dengan keluarga Mang Tio, saya mengenal adi Ima walaupun belum sempat bicara panjang. Dengan adi Mety “hampir” terjadi pertemuan ketika saya dinas ke Padang. Waktu itu kita cuma sempat berkomunikasi lewat telepon karena saya harus terus ke Pariaman. Di Pariaman saya bertemu dengan adi Evi seperti yang diceritakan dimuka. Dan sekarang dengan adi Gaha, yang sebelumnya tidak saling mengenal, sudah mulai ada komunikasi melalui email.
Dengan Keluarga Uwa Eno saya dekat dengan kang Memet namun dengan kang Maman saya belum sempat bicara lama.
Puncak dari kekompakan para sepupu turunan Nini Kancana adalah ketika mengembangkan IMMASA (Ikatan Muda Mudi Asal Sawahbera). Pada organisasi itu yang paling berperan segaligus inspirator adalah para sepupu keturunan Nini Kancana.
Seperti yang telah disampaikan di atas, kedekatan emosional saudara sepupu yang berlainan jenis mampu menimbulkan benih-benih cinta dan berkembang hingga ke pelaminan. Mungkin ada yang belum tahu bahwa “bangsa ARKAN” ini terlahir sebagaian dikarenakan oleh perkawinan sepasang saudara sepupu, Aki Ardiwisastra dan Nini Kancanamirah.
Nah.
Ditulis oleh Kang Yaya.

2 komentar:

Arkan mengatakan...

Tulisan yang bagus Kang Yaya, hanjakal dengan Gaha dulu kita tidak dekat ya, padahal lamun lebaran dulu selalu ke rumah Uwa Iloh, dan sangat perlu teman yg bisa diajak diskusi atau curhat. Dengan Kang Gugum, Kang Edi, dan Ceu AAS Gaha cukup mengenal sejak baheula. Lamuan aya foto anu keur main rakit-rakitan di cikapundung jiganamah seru ...

Unknown mengatakan...

Tah kitu, dulur sadaya dongeng ti Uwa Yaya teh, kacida pisan akur tur sapagodos pisan sareng naon anu kapendak ku pribados, karaos tos kolot kieu nikmatna akur jeung dulur kuatna silaturakhim, sok siapa lagi yang mau kirim tulisan, ulah kagok kubahasa bebas aja mau campur-campur juga nggak apa-apa. Hatur Nuhun Kang, kita aktualkan lagi motto IMMASA "Sareundeuk saigel sabobot sapihanean"